M Fakih Abdurrohman
XI IPA 4
BIOGRAFI TOKOH
UMAR WIRAHADIKUSUMAH
Nama
Lengkap : Jend. TNI
(Purn.) Umar Wirahadikusumah
Jabatan : Wakil Presiden
Indonesia ke-4
Masa jabatan : 11 Maret 1983 – 11 Maret 1988 masa Presiden
Soeharto
Wakil Presiden sebelum : Adam Malik
Wakil Presiden sebelum : Sudharmono
Informasi pribadi :
Lahir : 10 Oktober 1924 Sumedang, Jawa Barat, Hindia Belanda
Meninggal : 21 Maret 2003 (umur 78) Jakarta,
Indonesia
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : Non Partai
Suami/istri :
Karlinah Djaja Atmadja
Anak : Rina Ariani, Nila Shanti
Agama : Islam
Perjalanan Hidup
Jenderal
TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah (lahir di Situraja, Sumedang, Jawa Barat, 10
Oktober 1924 – meninggal di Jakarta, 21 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah
Wakil Presiden Republik Indonesia keempat, yakni pada masa bakti 1983—1988.
Sebagai
anak dari ayah Raden Rangga Wirahadikusumah, Wedana Ciawi dan ibunya Raden
Ratnaningrum, putri Patih Demang Kartamenda di Bandung, Umar lahir di keluarga
terpandang dan mengenyam pendidikan kolonial Belanda. Ia belajar di Europesche
School (ELS) dan tamat tahun 1942. Umar kemudian melanjutkan sekolahnya di MULO
sambil ikut pendidikan Seinendojo di Tangerang selama 8 bulan. Setamat itu, ia
meneruskan pendidikan militernya ke pendidikan PETA di Bogor selama 6 bulan.
Pada
masa penjajahan Jepang, Umar ikut aktif dalam kelompok militer yang kemudian
berubah menjadi PETA, dengan menjabat komandan peleton di Tasikmalaya selama
setahun, kemudian dipindahkan ke Pangandaran. Setelah Proklamasi Kemerdekaan,
Umar bergabung dengan TKR, cikal bakal TNI, dengan menjadi komandan di
Cicalengka, pada tanggal 1 September 1945.
Karier militer
Kodam VI/Siliwangi
Seusai
perang kemerdekaan, Umar meniti kariernya di TNI Angkatan Darat dan lama
ditempatkan di Kodam VI/Siliwangi (sekarang menjadi Komando Daerah Militer
III/Siliwangi). Pangkatnya terus naik seiring dengan perannya yang meningkat
dalam penumpasan berbagai pemberontakan pada masa pemerintahan Orde Lama,
antara lain Peristiwa Madiun pada tahun 1948 dan PRRI. Pada saat AH Nasution
menjadi Panglima Kodam VI/Siliwangi, Umar sempat menjadi ajudannya.
Kodam V/Jaya
Pada
tahun 1959, ia dipindahkan ke Kodam V/Jaya sebagai Komandan Komando Militer
Kota Besar (Dan KMKB) Jakarta Raya, dan akhirnya menjabat Panglima Kodam V/Jaya
pada tahun 1961.
Gerakan 30 September
Pada
saat pecahnya Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, sebagai Panglima
Kodam V/Jaya, Umar bertanggung jawab terhadap keamanan di wilayah Jakarta. Ia
melakukan patroli keamanan dan setelah mendapat laporan penculikan para
jenderal dan melihat pasukan tak dikenal di depan Istana Merdeka, Umar melapor
kepada Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Umar
mendukung keputusan Soeharto untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat
dan mendukung Soeharto dalam upayanya menumpas Gerakan 30 September. Siang
hari, pada saat Presiden Soekarno memanggilnya ke Pangkalan Udara Halim
Perdanakusumah, Soeharto khawatir bahwa pemanggilan tersebut merupakan
percobaan untuk membunuh Umar dan Soeharto melarang Umar untuk memenuhi
panggilan tersebut.
Soeharto
mulai mengendalikan situasi Jakarta, dan Umar berada dibelakangnya untuk
mengkonsolidasi. Umar menetapkan jam malam antara jam 18.00 dan 06.00 dan
mengontrol seluruh surat kabar di Jakarta.
Pada
saat Gerakan 30 September mulai dinyatakan didalangi oleh PKI, Umar menyetujui
pembentukan KAP-GESTAPU.
Orde Baru
Walapun
ia bukan merupakan lingkaran dalam Soeharto, Umar mendapatkan kepercayaan penuh
Soeharto atas dukungan dan jasanya dalam menumpas G30S. Seiring dengan
melesatnya karier Soeharto, karier Umar pun melesat dengan cepat. Pada tahun
1965, Soeharto mengangkat Umar menjadi Panglima Kostrad, menggantikan dirinya.
Pada tahun 1967, Umar diangkat menjadi Wakil Panglima Angkatan Darat, dan pada
tahun 1969, ia menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Pada tahun 1973, ia meninggalkan
militer aktif dan menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
jabatan yang diembannya selama 10 tahun. Sebagai Ketua BPK, Umar bertanggung
jawab untuk memastikan departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya menggunakan uang negara dengan benar. Pada saat itulah Umar sebagai
Ketua BPK menyatakan bahwa tidak ada satu departemen pun yang bebas dari
korupsi.
Wakil Presiden
Pada
tahun 1983, Umar dipilih MPR menjadi Wakil Presiden melalui Sidang Umum MPR
1983. Pemilihan ini tidak diduga banyak orang, mengingat figur Umar yang
walaupun terkenal dengan integritas yang tinggi, masih belum dipersepsikan satu
kelas dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik.
Sebagai
Wakil Presiden pada pemerintahan Soeharto, Umar merupakan salah satu dari
sedikit orang yang benar-benar berjuang untuk memerangi korupsi. Seorang yang
religius, Umar berharap agama dapat menjadi faktor bertobatnya koruptor. Umar
juga terkenal dengan inspeksi mendadak ke kota-kota dan desa-desa di daerah,
untuk memantau kebijakan pemerintah pada tingkat pelaksanaan dan efek-efeknya
pada rakyat.
Masa
jabatan Umar berakhir pada Maret 1988 dimana ia digantikan oleh Sudharmono.
Banyak kalangan yang kecewa ia tidak menjabat Wakil Presiden untuk masa jabatan
selanjutnya. Reputasi baiknya pada saat itu menggugah Sudharmono untuk
benar-benar memastikan bahwa Umar tidak bersedia untuk menjabat Wakil Presiden,
sebelum ia sendiri bersedia untuk menggantikan Umar.
Wafat
Umar
Wirahadikusumah mengembuskan napas terakhir, sekitar pukul 07.53 WIB, Jumat 21
Maret 2003 di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, setelah
sempat mendapat perawatan intensif selama dua pekan.
Umar
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat petang
pukul 16.00, dengan upacara militer yang dipimpin mantan Wapres Jenderal (Purn)
Try Sutrisno dan komandan upacara Kolonel Tisna Komara (Asisten Intelijen
Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat/Kostrad).
Ia
menderita penyakit jantung selama tiga belastahun dan telah menjalani operasi
by pass jantung tahun 1989 di Herz Und Diabetes Zentrum di Badoeyhausen,
Jerman. Setelah operasi jantung tersebut, kesehatan almarhum cukup baik, bahkan
tetap bisa berolahraga golf. Namun sejak September 2002, jantung mantan Pangdam
V Jakarta Raya (1960-1966) ini kembali mengalami gangguan dan harus menjalani
perawatan lagi di Jerman.
Sepulang
dari perawatan di Jerman, ia terus menjalani home care karena daya pompa
jantungnya telah sangat melemah dan adanya bendungan pada paru sehingga
mengakibatkan sesak napas. Sejak 5 Maret 2003, ia dirawat di paviliun Kartika
RSPAD, sejak 8 Maret 2003, mendapat perawatan di ruang ICU, hingga akhirnya wafat.
Keluarga
Umar
wafat pada usia 79 tahun dan meninggalkan seorang istri, Ny Karlinah Djaja
Atmadja, yang dinikahinya 2 Februari 1957, dan dua orang anak, Rina Ariani dan
Nila Shanti, serta enam orang cucu.
Penghargaan
Bintang Dharma,
Bintang Gerilya
Bintang Kartika Eka Paksi I-II-III
Bintang Jalasena Klas I-II
Bintang Bhayangkara I-II
Satyalancana Kesetiaan 24 (XXIV)
tahun Perang Kemerdekaan I-II
Satyalancana G.O.M I-II-V
Sapta Marga
Satyalancana Wira Dharma
Satyalancana Penegak
Satyalancana Dwija Sistha
Das Gross Vergenst Kreus Jerman,
Legion of Merit - Amerika Serikat
Orde van Oranye Nassau - Nederland
(Belanda)
Panglima Setia Mahkota - Malaysia
Bintang Keamanan no 1 - Korea
Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang terbaik adalah komentar yang membangun !!!